Masyarakat Desa Adat Jatiluwih Protes ke Bupati Tabanan

Bali – //DJALAPAKSINEWS// – Masyarakat Desa Adat Jatiluwih mempersoalkan keberadaan sebuah restoran di atas lahan yang masih berstatus sengketa antara Pemkab Tabanan dan masyarakat adat setempat.

Dalam surat tertanggal 6 Maret 2025 yang ditujukan kepada Bupati Tabanan, warga Desa Adat Jatiluwih meminta agar proses sewa-menyewa lahan antara Pemkab Tabanan dan Jatiluwih Resto ditunda.

“Setelah terbitnya sertifikat aset tanah atas nama Pemkab Tabanan, pengurus Desa Adat Jatiluwih merasa keberatan dan memohon agar proses sewa menyewa atas lahan seluas 0,5 are dengan pihak Jatiluwih Resto ditangguhkan sementara karena masih dalam sengketa,” demikian isi surat tersebut yang beredar di kalangan wartawan yang dikutip Senin (28/4/2025).

Salah satu warga, Wayan Subarde mengatakan sengketa lahan tersebut membuat pengurus Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih terbelenggu.

“Bagaimana tidak terbelenggu, Manajer DTW adalah pemilik Jatiluwih Resto, otomatis dia juga bagian dari Badan Pengelola Desa Wisata yang merupakan perpanjangan tangan Pemkab,” ujarnya, Senin (28/04/2025).

Sikap berbeda ditunjukkan Pemkab Tabanan terhadap warga yang hendak membuka warung di area persawahan, yaitu dilarang dengan alasan berada di zona hijau. Namun, menurutnya, Dinas Pekerjaan Umum (PU) justru bersikap ragu-ragu soal kejelasan status zona lahan tersebut.

“Anak saya minta ditunjukkan petanya, tapi tidak dikasih,” katanya.

RK, warga lainnya menambahkan, selain legalitas lahan yang bermasalah, transparansi pembagian dari hasil pendapatan Jatiluwih Resto juga dipertanyakan.

Dia menjelaskan, Pemkab Tabanan telah menyerahkan penggunaan lahan yang diklaim miliknya itu kepada badan pengelola yang di dalamnya terdiri dari lima pihak, yaitu Desa Adat, Desa Dinas, Pemkab Tabanan, dan Subak Jatiluwih.

“Dalam perjanjiannya lima pihak itu mendapat persentase dari pendapatan Jatiluwih Resto, tapi realitanya Subak tidak menerima. Ditambah lagi pihak restoran tidak mau membayar sewa kepada Pemkab Tabanan,” terangnya.

Dalam setiap kali rapat badan pengelola, kata RK, pihak restoran kerap mengumbar janji, tapi tidak ada satupun yang terealisasi.

“Kenapa saya tahu ini karena saya adalah masyarakat Desa Adat juga warga Desa Dinas Jatiluwih, dan juga sebagai anggota petani Subak Jatiluwih (pemilik) lahan persawahan yg dijadikan obyek wisata oleh DTW,” ujar RK.

Kepala Dinas Pariwisata Tabanan Agung Setya Tenaya saat dikonfirmasi menyatakan pihaknya akan segera membahas persoalan tersebut.

“Kemarin masih libur Galungan. Dalam waktu dekat akan kami bicarakan dengan pihak-pihak terkait,” ujar Agung melalui sambungan telepon.

Terkait keberadaan Jatiluwih Resto, Agung menyebut kerja sama dilakukan antara pihak restoran dan masyarakat adat.

“Itu kerja sama pihak restoran dengan masyarakat adat,” katanya.

Namun, ketika diberitahu bahwa masyarakat adat telah mengirimkan surat resmi kepada bupati untuk menghentikan sementara kerja sama tersebut, Agung mengaku belum mengetahui.

“Tahu dari mana itu? Setahu saya, restoran bekerja sama dengan masyarakat adat,” ucapnya.

Sementara itu, manajer DTW Jatiluwih yang juga pemilik Jatiluwih Resto Ketut Purna menegaskan sengketa lahan bukan menjadi tanggung jawab pihaknya.

“Itu bukan urusan saya sebagai pemilik restoran. Silakan tanyakan ke Badan Pengelola atau desa adat,” kata Ketut.

Terkait larangan warga mendirikan warung di sekitar area persawahan, ia menyatakan hal tersebut akan dibicarakan kembali bersama Pemkab Tabanan.

Sebagai informasi, DTW Jatiluwih dibentuk oleh badan pengelola atas rekomendasi Pemkab Tabanan. DTW diberi tugas mengelola tiket masuk ke destinasi wisata Jatiluwih pasca daerah tersebut ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO pada 2012.

Jatiluwih ditetapkan sebagai WBD karena sistem subak persawahan terasiring. //Hendro H/Jw//

Contoh Menu Header Tetap